Rabu, 30 Maret 2011

Biografi Singkat Sayyidi asy-Syaikh Zaini



الشيخ محمد زيني بن عبد الغني
 
Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin 
Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa'ad bin Abdullah bin al-Mufti 
Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh 
Muhammad Arsyad al-Banjari.
 
Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil 
dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf 
dengan Hj Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama, 
sedangkan adiknya bernama H Rahmah.
 
Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu 
tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 M.
 
Diceriterakan oleh Abu Daudi, Asy Syekh Muhammad Ghani sejak kecil selalu 
berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang 
memelihara Qusyairi kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam 
pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar 
membaca Alquran. Karena itulah, Abu Daudi meyakini, guru pertama dari Alimul 
Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani adalah ayah dan neneknya sendiri.
 
Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu 
pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama. 
Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal 
Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium 
tangannya.
 
Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, beliau mengikuti pendidikan "formal" 
masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Guru-guru beliau pada masa 
ini antara lain, Guru Abdul Muiz, Guru Sulaiman, Guru Muhammad Zein, Guru H. 
Abdul Hamid Husain, Guru H. Rafi'i, Guru Syahran, Guru Husin Dahlan, Guru H. 
Salman Yusuf. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan 
pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini beliau 
sudah belajar dengan Guru-guru besar yang spesialist dalam bidang keilmuan 
seperti al-Alim al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Alim al-Fadhil Husain Qadri, 
al-Alim al-Fadhil Salim Ma'ruf, al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulya, al-Alim 
Syaikh Salman Jalil, al-Alim al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Alim al-Fadhil 
al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir, dan KH. Aini Kandangan. Tiga yang terakhir 
merupakan guru beliau yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
 
Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat ini adalah tokoh-tokoh 
besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. Dari yang saya kenal 
saja secara khusus adalah KH. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti 
Senjata Mukmin yang banyak dicetak di Kal-Sel. Sedangkan al-Alim al-Allamah 
Seman Mulya, dan al-Alim Syaikh Salman Jalil, sempat kita temui ketika masih 
hidup. Syaikh Seman Mulya adalah pamanda beliau yang secara intensif mendidik 
beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika 
mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung 
bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman 
langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal 
dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan) 
maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits 
dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) beliau kepada al-Alim al-Allamah 
Syaikh Anang Sya'rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut 
Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah 
pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan 
tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
 
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu 
faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui 
ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan al-marhum KH. Hanafiah Gobet). 
Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang 
tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali 
berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan 
kepada kami agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim 
besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang 
sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.
 
Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syaikh Syarwani 
Abdan (Bangil) dan al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi. 
Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan 
beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah). Dari beberapa guru 
beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah), 
Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail al-Yamani, dan Syaikh Abdul Kadir al-Bar. 
Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah al-Alim al-Allamah Ali Junaidi 
(Berau) bin al-Alim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Alim al-Allamah Mufti 
Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan al -Alim al-Allamah 
Muhammad Syarwani Abdan Bangil. (Selain ini, masih banyak tokoh lagi di mana 
sebagiannya sempat saya catat dan sebagian lagi tidak sempat karena waktu itu 
beliau menyebutkannya dengan sangat cepat. Sempat saya hitung dalam jumblah 
kira-kira, guru beliau ada sekitar 179 orang sepesialis bidang keilmuan Islam 
terdiri dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Makkah).
 
Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamanda beliau semenjak kecil 
betul-betul tertanam. Semenjak kecil beliau sudah menunjukkan sifat mulia; 
penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang 
yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnda beliau sendiri. Seperti 
misalnya suatu ketika hujan turun deras sedangkan rumah beliau sekeluarga sudah 
sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah. 
Pada waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuhnya dari 
hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
 
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syekh Muhammad Ghani juga adalah seorang 
pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat 
dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. 
Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan 
untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan 
sistem memenej usaha dagang beliau sampaikan kepada kami lewat cerita-cerita 
itu.
 
Beberapa cerita yang masih saya ingat. Sewaktu kecil mereka sekeluarga yang 
terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji 
telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. 
Pada masa-masa itu juga, ayahnda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada 
sisa teh, ayahnda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan 
kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan 
diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, beliau sampaikan 
bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk 
menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan 
sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustazd kami pernah mengomentari hal 
ini, "bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu." Pernah sewaktu kecil 
beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian 
sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegur beliau, 
"Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur." Beliau langsung 
berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
 
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan:
Beliau sudah hapal al-Qur`an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir 
Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul 
dijaga. Kemanapun bepergian selalu ditemani (saya lupa nama sepupu beliau yang 
ditugaskan oleh Syaikh Seman Mulya untuk menemani beliau). Pernah suatu ketika 
beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa 
kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamanda beliau Syaikh 
Seman Mulya di hadapan beliau dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak 
ada yang melihat Syaikh, begitu juga sepupu yang menjadi "bodyguard' beliau. 
Beliaupun langsung pulang ke rumah.
 
Pada usia 9 tahun pas malam jum'at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar 
turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah 
putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis "Sapinah al-Auliya". Beliau ingin 
masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada 
malam jum'at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam 
jum'at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau 
dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk, 
beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.
 
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak 
dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang 
yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut. (Sayang saya lupa nama syaikh 
tersebut, semoga saja beberapa kawan dan anggota jamaah yang juga hadir sewaktu 
pengajian umum di PP. Al-Falah, Banjarbaru, Kal-Sel saat itu ada yang bisa 
mengingatkan saya nama syaikh tersebut).
 
Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu 
dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah 
anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan 
pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah 
atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah 
istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya 
karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi "bakarmi" 
(orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
 
Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau 
juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang. 
Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil 
halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya 
beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati 
atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau 
tidak tepat.
 
Kemarin, Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke 
rahmatullah pada usia 63 tahun. Dulu almarhum Guru Ayan (Rantau), salah seorang 
syaikh yang dikenal kasyaf pernah menyampaikan bahwa kehidupan Syaikh M. Zaini 
Ghani itu seperti Nabi. Bahkan usia beliau pun sama seperti usia Nabi. Salah 
seorang murid dekat Guru Ayan, yaitu M. Yunus (kaka kelas saya di PP. Alfalah) 
pernah mencoba melihat-lihat ciri-ciri hissiyahnya. Salah satu yang menjadi 
sorotannya adalah kepindahan Beliau dari Keraton Martapura ke wilayah Sekumpul 
seperti Rasulullah s.a.w. hijrah (dan beberapa hal lainnya). Dan sekarang, 
ucapan tersebut terbukti. Kebetulan? Wallahu A'lam.
 
Beberapa karamah dan riwayat hidup beliau yang lain bisa dibaca dari 
pemberitaan dan tulisan-tulisan di http://www.indomedia.com/bpost dan di 
www.radarbanjar.com. Apa yang saya tulis di sini sebagian besar langsung saya 
dapatkan sendiri dari penuturan beliau dan apa yang saya lihat secara langsung. 
Rahimakallah ya Syaikh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar